Vanuatu Getol Ganggu Kedaulatan NKRI Di Papua, Ternyata Ini Motifnya - Mading Indonesia

Post Top Ad

Vanuatu Getol Ganggu Kedaulatan NKRI Di Papua, Ternyata Ini Motifnya

Vanuatu Getol Ganggu Kedaulatan NKRI Di Papua, Ternyata Ini Motifnya

Share This

Vanuatu adalah sebuah negara kepulauan ukuran kecil yang dulu menjadi koloni Inggris. Negara nun jauh di Pasifik itu memiliki daratan seluas 12 kilometer persegi atau seluas Pulau Maluku. Meski dianggap sebagai ‘negara kecil’, Vanuatu berani mengusik Indonesia dengan terus menyatakan dukungannya terhadap kemerdekaan Papua.

Vanuatu bahkan mendukung perjuangan kelompok separatis Papua seperti Gerakan Pembebasan Papua Barat (ULMWP) yang dipimpin Benny Wenda. Negara tersebut menjadi saksi tempat ULMWP didirikan lima tahun lalu.

Sang perdana menteri, Charlot Salwai Tabimasmas, menyinggung dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Papua dalam pidatonya di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada pekan lalu.

Negara berpenduduk sebesar 270 ribu jiwa itu tak hanya sekali mengangkat isu dugaan pelanggaran HAM di Papua dalam forum internasional seperti PBB. Setahun lalu, Tabimasmas turut menyisipkan kecaman yang sama dalam sidang Majelis Umum PBB ke-73.

Pada sidang Majelis Umum PBB ke-71 tahun 2016, Vanuatu bersama lima negara Pasifik lainnya juga menyinggung masalah yang sama. Mereka bahkan mendesak PBB untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM di Papua.

Lalu apa yang melatar belakangi Vanuatu begitu getol menyuarakan isu Papua dimana terdapat dua perusahaan raksasa dari induk semangnya Inggris Britis Petroleum di proyek tangguh dan Freeport yang masih dimiliki sebagian saham oleh Amerika Serikat.

Ternyata sejak tahun 2005 kerajaan Inggris menyatakan tidak lagi berkepentingan di kawasan Pasifik Selatan. Sehingga menghentikan bantuannya kepada Vanuatu sejak merdeka tahun 1980. Demikian juga dengan Australia dan Selandia Baru yang notabene merupakan sekutu Inggris.

Apapun alasan dan pertimbangan Inggris, pada 2010 Republik Rakyat Cina mulai mengembangkan hubungan kerjasama dengan negara-negara Oceania, seiring menurunnya bantuan keuangan negara-negara blok Barat terhadap negara-negara kawasan Pasifik.

Maka dimulailah manuver ekonomi Cina di Vanuatu melalui tebar hibah dan investasi melalui bantuan Cina untuk pembangunan ekonomi Vanuatu. Yang mana dana bantuan itu berupa loan atau hibah, dan tidak perlu dikembalikan seperti layaknya negara yang berutang pada negara lain.

Memang benar AS sempat juga berupaya memperkuat pengaruhnya melalui skema bantuan ekonomi The Millennium Challenge Corporation (MCC, Agency Bantuan Luar Negeri AS), begitu pula Selandia Baru. Namun nampaknya kedua negara tidak mampu menandingi “kemurah hatian” Cina.

Alhasil, pada 2018 bantuan Cina kepada Vanuatu total mencapai jumlah 243 juta dolar AS. Dua kali lipat lebih besar dibandingkan bantuan pemerintah AS. Jika kita telisik data utang luar negeri Vanuatu yang total berjumlah 440 juta dolar AS. Maka lebih separuh dari total jumlah utang Vanuatu, berasal dari Cina.

Menariknya lagi, jumlah investasi Cina di Vanuatu pun semakin meningkat. Dalam hal ini, Cina memberi bantuan keuangan terkait proyek-proyek insfrastruktur berskala besar. Misal, proyek pemasangan jaringan telekomunikasi negara bernilai sekitar 37 juta dolar AS.

Alhasil sejak tahun 2014 Vanuatu mulai dapat memosisikan diri untuk tampil lebih percaya diri menghadapi induk semangnya Inggris dan Amerika di forum internasional seperti PBB. Motif ekonomi adalah faktor utama negara kecil tersebut akan terus mengganggu kedaulatan Indonesia di Papua.

Ekonomi Vanuatu juga semakin terpuruk karena praktek korupsi di negara tersebut tak kunjung dapat dihentikan. Meninggalnya presiden Baldwin Lonsdale pada tahun 2017 lalu juga memberi isyarat muram kepada rakyat Vanuatu untuk dapat menatap masa depan yang lebih cerah.

Semasa pemerintahannya Lonsdale getol memberantas korupsi. Dia dinilai sosok pemimpin tegas du tengah banyak pejabat yang diduga terlibat skandal korupsi besar-besaran yang melanda negaranya.

Lonsdale, seorang pegawai negeri sebelum menjadi pendeta Anglikan, terpilih menjadi presiden pada tahun 2014.

Meski perannya dianggap seremonial karena pemerintahan dijalankan oleh Perdana Menteri, Lonsdale menjadi simbol harapan bagi Vanuatu saat Topan Pam menerjang menyebabkan kerusakan parah di negara ini pada awal 2015 yang turut memperparah perekonomian Vanuatu.

Enam bulan kemudian, dia memimpin negara tersebut di tengah krisis politik saat perdana menteri Serge Vohor dihukum karena korupsi pada tahun 2015.

Turut bersama sang perdana menteri, wakil Perdana Menteri Moana Carcasses juga dihukum empat tahun penjara. Wakil PM Vanuatu dilaporkan telah bergabung dengan 13 pejabat dari anggota Parlemen Vanuatu lainnya yang telah lebih dulu dijatuhi hukuman penjara karena terlibat kasus yang sama.

Sebagaimana diketahui pada 9 Oktober 2015, Mahkamah Agung Vanuatu menangkap tangan bahwa Carcasses telah membuat pembayaran ilegal sebesar 35 juta Vatu, atau sekira Rp6,1 juta kepada beberapa anggota parlemen Vanuatu.

No comments:

Post a Comment

Post Bottom Ad

Pages